Tuesday, August 25, 2015

ILFYPP — 1. Singel Brunch


1.

Amsterdam, 11 pagi.

Marc memainkan smartphone-nya sementara aku menunggu pesanan. Kami memesan salah satu menu brunch di sebuah kedai teh yang berada di Singel, Amsterdam. Marc bilang kalau menu brunch di kedai teh ini salah satu yang paling enak se-Amsterdam, plus katanya dia tahu kalau aku senang minum English Tea, plus lagi dekat dengan hostel tempat kami menginap. Tetapi lokasi kedai teh yang bersebelahan dengan kanal Singel lah yang membuatku setuju Marc mengajak kesini.


Meskipun masih sepi, kami memesan meja di luar. Cuaca Amsterdam cerah hari ini.

“Elena, lees dan dit* ” ujar Marc gusar sambil menyerahkan smartphonenya. (* lees dan dit = baca ini)

"Perpisahan tanpa alasan yang jelas adalah hubungan yang belum selesai." Aku membaca salah satu tweet dari follower Marc. Kemudian, aku menatap Marc agak lama, bingung. Marc terlihat sedih, tapi ia pura-pura berdehem.

Kemudian hening sejenak.

"Kamu ingat ‘dia’ lagi?" ujarku hati-hati. Seorang waitress datang dan mengantarkan brunch kami berdua.

"Hah?! Nope." Rahang Marc menegas.


"Trus?" ujarku mengaduk-aduk makananku.

"Entahlah, El.." Marc memalingkan mukanya.

"Cuma gara-gara tweet tadi?" aku menatapnya iba. Marc selalu tampak tak berdaya jika berhubungan dengan masa lalunya. Padahal dia tampan, aku yakin akan ada banyak ‘dia’ yang bisa menggantikan ‘dia’.

Dan salah satu alasan dia sukarela menemaniku ke Amsterdam katanya cuma untuk melupakan ‘dia’.

"Karena aku rasa, sesialan-sialan quotes itu, itu membawa kebenaran nyata yang nampar muka aku."

"Aku gak ngerti."

Lawan bicaraku menaikkan alisnya sebelah, kemudian kembali menghisap rokoknya yang sedari tadi ia apit diantara jari kanannya sementara tangan kirinya sibuk memainkan smartphone, mengepulkan asap-asap berbentuk bulatan ke udara dengan mahir.

Dia mendesah kecewa kemudian melanjutkan perkataannya, "Elena, I think I was clear."

“Satu hal yang jelas buat aku adalah mendingan kamu berhenti buka Twitter dan berhenti baca tweet- tweet galau. Remaja banget gak sih?! Ayolah, we’re in Amsterdam already! Just enjoy the show!

“Kamu bilang kan ini pertama kali kamu dateng ke Belanda. Aku udah kesini beberapa kali meski cuma karena Gran*. There’s no big difference..” Ia mematikan smartphonenya. (* Gran = nenek)

Aku mencibir.

Tak lama kemudian datang segerombolan wanita Cina dan memesan tempat di sebelah kami. Mereka saling berbisik dan melirik ke arah Marc sambil cekikikan. Aku merasa geli dan melirik ke arahnya, Marc terlihat sok kalem dan berusaha menyembunyikan kegusarannya. Ia memandangku agak lama, berusaha mengatakan sesuatu.

"Elena kayaknya kita harus," ujar Marc dengan suara tertahan.

"Sebagai cowok kayaknya kamu kurang peka, mereka cuma ngefans sama kamu. That's all.." Aku mendengus kesal lalu melahap brunch-ku dengan cepat. Marc melakukan hal serupa.

Kami makan dengan cepat lalu keluar dari kedai teh tersebut ketika mulai banyak pengunjung yang datang.

Aku merapikan coat-ku sementara Marc mengiringi langkahku menyusuri pinggiran kanal Amsterdam.

Memilih Marc sebagai partner trip sepertinya keputusan yang salah.



***


Notes ari yang nulis:
 
Hai guys! I hope you will enjoy my first part of serial story :D sebelumnya aku emang gak kasih tau setting tempat cerita ini dimana, but Amsterdam then popped up from my mind. Kenapa Amsterdam?
 
Awalnya aku mau bikin setting cerita di daerah Bandung sih, tapi kayaknya kurang greget haha so I choose Amsterdam as it is one of the cities I admire the most.
 
Maaf karena ngaret. But I will continue this serial story every week on Tuesday :)
Hope you enjoy! xx

2 comments:

Write a comment