Tuesday, December 8, 2015

ILFYPP — 2. Kebanggaan Mama




[ Read the previous story here ]

Aku memandang langit-langit kamarku yang gelap gulita, terpana.

Detik seolah memburu. Janji yang tampak terburu-buru. Kalau saja ini bisa diundur, mungkin tidak akan ragu.

Tapi apa bisa? Bukankah ini sudah pengunduran hari bahkan bulan kesekian kalinya?

Besoklah hari H, akan menjadi hari bahagia. Katanya. Tapi kenapa hari bahagia begitu menyesakkan dada?

"Kamu belum tidur?" Mama membuka pintu kamarku. Beliau nampak gugup (apalagi aku).

"Ah belum, Ma." aku menjawab ala kadarnya. Mama menghampiri tempat tidurku dan duduk di pinggirannya, mengelus lembut salah satu kaki ku.

"Katanya memang gugup begitu menjelang hari H. Padahal sudah dua kakakmu menikah, tapi tetap saja Mama nggak biasa dengan perasaan ini." Mata Mama menerawang, seulas senyum tersungging di bibirnya.

"Ma, kalau mau senyum ajak-ajak dong," aku bangun dari tidurku dan memasang tampang pura-pura bosan.

Mama tersenyum haru, matanya berkaca-kaca. "Mama pikir kamu gay karena selalu menolak untuk menikah, Marc!" Ia mengusap air mata harunya.

"Ma! Nggak gitu juga kali!" aku mendengus kesal dan kembali rebahan, pura-pura merajuk.

"Habis kemana-mana kamu main berdua terus sama cowok, jarang banget ajak cewek kesini. Sama Hannie – calon istri kamu sekarang juga, kamu lebih banyak ngobrol sama adiknya, siapa sih namanya? Adrian?"

"Arnoud, Ma." ujarku setengah tertidur.

"Oh salah ya, habis susah banget sih namanya. Tapi ganteng banget ya adiknya Hannie, kadang suka buat Mama ingin–", Mama berdehem, menghentikan ocehan panjangnya.

"Ahh selamat tidur Marc, besok hari yang sangat penting." Mama beranjak pergi dari tempat tidurku.

"Ma–" aku tiba-tiba memanggilnya ketika Mama hendak menutup pintu. Mama menghentikan langkahnya. Aku memandangnya dari kejauhan dalam gelap.

"Kalau semua orang membenciku atas keputusan yang aku ambil, apa Mama masih sayang sama aku?"

"Kenapa tiba-tiba ngomong gitu, Marc?!" Mama terkesiap dengan perkataanku barusan.

"Aku cuma nanya, Ma."

"Kamu selalu jadi kebanggaan Mama..." Mama berlalu sambil menutup pintu, menyisakan bayangannya yang memanjang tersorot lampu luar, kemudian menghilang.

--

"Kenapa harus sembunyi?" Waitress yang sebelumnya mengantarkan brunch pada meja Elena dan Marc memasang tampang bingung pada seorang laki-laki yang setengah menunduk di dapur restoran.

"Enggak apa-apa, aku cuma kaget kenapa dua orang itu bisa kemari." Laki-laki tersebut menunjukkan wajah gusar. Bola mata warna keabuannya nampak fokus pada sesuatu yang mengudara namun tidak tampak.

"Mereka udah pergi kan?" Laki-laki tersebut celingukan, tapi berusaha menyembunyikan tubuhnya.

"Baru saja pergi ketika banyak pengunjung baru yang berdatangan. Memangnya mereka siapa, Arnoud?" waitress tersebut tidak bisa menyembunyikan pertanyaannya.

Arnoud, nama laki-laki tersebut, terdiam. Ia menatap waitress tersebut lamat-lamat. Kemudian berbicara dengan sangat pelan, "Aku nggak kenal dengan perempuan tadi. Kalau yang laki-laki itu, dia yang membuat kakakku jadi gila."

No comments:

Post a Comment

Write a comment